"Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan," demikian penggalan sajak yang ditulis penyair Joko Pinurbo. Saya sepakat dengan hal itu. Setiap tahun saya selalu menyempatkan diri mudik ke rumah orang tua saya di Klaten, Jawa Tengah dan tidak pernah melewatkan untuk sekalian 'pulang' ke Yogyakarta. Yogya mendapat tempat istimewa di hati karena saya pernah menimba ilmu di Kota Pelajar ini dan bertemu dengan teman-teman terbaik serta belahan jiwa (ehemm 🤭).
Semestinya akhir tahun ini saya mudik, tapi karena pandemi sepertinya saya harus menyimpan rasa rindu. Hari ini saya sengaja membuat sego kucing angkringan untuk melampiaskan rasa rindu 'pulang' ke Yogya. Sego artinya nasi. Disebut sego kucing karena porsinya sedikit seperti jatah nasi yang biasa diberikan untuk makan kucing. Sego kucing ini disajikan dalam bungkusan daun pisang, dilengkapi dengan sedikit sambal teri atau sesendok orek tempe dan dijual di angkringan. Biasanya ada pilihan lauk tambahan yang bisa dibeli terpisah seperti aneka sate (sate telur puyuh, sate usus, sate kepala ayam, dll), aneka gorengan, dan baceman.
Sejarah sego kucing--seperti dikutip dari Fimela.com--dulunya nasi ini sengaja dibuat dengan porsi kecil untuk menyesuaikan dengan kemampuan beli rakyat.
Pada perkembangannya, sego kucing menjadi menu andalan para mahasiswa karena harganya ramah di kantong.